BLOGGER TEMPLATES AND Tagged Layouts »

Minggu, 03 Oktober 2010

NGABEN



Bali merupakan kota yang memiliki kebudayaan yang unik,tak heran jika kota ini merupakan kota pariwisata yang banyak menarik wisatawan mancanegara maupun domestik untuk mengunjungi Kota Bali.Kondisi alam serta kepercayaan masyarakat sangat mendukung untuk membuat para wisatawan tergelitik untuk mengetahui lebih dalam tentang Pulau Dewata iniSeperti yang kita ketahui, agama Hindu merupakan agama mayoritas di Bali,tak jarang orang orang mengatakan bahwa Bali ini merupakan Pulau Seribu Pura.

Salah satu kebudayaan masyarakat sekitar yang menarik perhatian para wisatawan adalah Ngaben.Ngaben merupakan upacara pembakaran mayat yang ada di Bali khususnya bagi masyarakat yang menganut agama Hindu. Mungkin ada yang bertanya tanya mengapa mayat atau raga seseorang yang sudah meninggal dibakar,intinya tradisi ini bukan sekedar tradisi yang tak mempunyai arti apa apa,namun tradisi tersebut merupakan tradisi suci yang bersifat swadharma atau kewajiban yang mutlak dikarenakan sudah merupakan hutang.Bukankah saat kita masih didalam rahim seorang ibu,raga kita hanya terdiri dari dua sel yang sangat kecil dan kita berhutang kepada ayah kita karena kama petaknya (spermanya) dan ibu kita karena kama bangnya (ovumnya), kenyataan itu tidak dapat dipungkiri.

Selama hidup, kita tentu selalu menjaga raga ini karena kita merasa raga ini begitu penting walaupun raga inipun merupakan pinjaman, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Namun bagaimana setelah nyawa dan raga kita terpisahkan? ketika tubuh ini sudah tidak dibutuhkan lagi karena sudah tak berfungsi? Unsur-unsur stula sarira tersebut harus segera dikembalikan kepada pemiliknya atau asal mulanya yaitu Sang Pancamahabhuta , Pancamahabhuta terdiri dari pratiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether/angkasa). Dengan kata lain sawa harus segera dihancurkan sampai masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya.

Di dalam Panca Yadnya, upacara Ngaben termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.Sebenarnya tujuan dari upacara Ngaben itu sendiri adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu (udara), Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Upacara Ngaben biasanya dilakukan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal sebagai rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya yang telah merawatnya sejak anak tersebut belum bisa melakukan apa apa sendiri hingga tumbuh menjadi dewasa.Dalam sekali upacara Ngaben inipun membutuhkan dana yang cukup besar berkisar antara 15 sampai 20 juta rupiah. Ngaben biasanya dilaksanakan dengan serentak, tidak ada isak tangis kesedihan dari keluarga,sanak saudara maupun kerabat. Karena di Bali terdapat sebuah kepercayaan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena hal tersebut dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Sebelum upacara dimulai,mayat akan dibersihkan terlebih dahulu atau yang biasa disebut Nyiramin oleh masyarakat dan keluarga, Nyiramin ini dipimpin oleh sesepuh didalam masyarakat itu sendiri. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga,sanak saudara serta kerabat akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa kepada orang yang telah meninggal tersebut. Setelah semuanya siap,mayat akan diletakkan di Bade untuk dibawa beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan gamelan, kidung suci, serta diikuti seluruh keluarga dan masyarakat,tepat di depan Bade terdapat kain putih yang panjang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan, Bade akan diputar sebanyak 3 kali.Upacara Ngaben dilakukan dengan meletakkan mayat tersebut di Lembu yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, setelah itu Lembu dibakar sampai menjadi Abu.Yang kemusian abu ini dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.

Referensi:

Mengapa Mayat Dibakar, 1993, I Gusti Ketut Kaler, Penyunting dan Pengantar Wayan Supartha, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.

0 komentar: